RSS

Hadi atau Hadi


Sore ini ada rapat di kelurahan. Sebagai ketua RT, aku harus datang walaupun di hati terdalamku, aku nggak mau datang di rapat itu. Paling ya nggak ada info apa-apa.

Persiapan sudah beres. Mandi, berkostum, dan motor pun dah siap di depan rumah. "Maa.. pergi dulu yaa.."

Aku, bapak dua anak yang bekerja sebagai guru di suatu sekolah kejuruan di Jogja. Untuk periode ini, aku mendobel kerja sebagai ketua RT. Entah kenapa, kok aku yang dipilih oleh warga.

Pukul 16.10. Sudah kuduga, pasti belum pada datang. Ini udah lewat 10 menit dari waktu yang ditentukan, masa iya baru lima orang yang datang. Tau gini, aku kan datang telat aja.

Akhirnya, 30 menit kemudian muncul wajah-wajah terlambat itu. Rapat kali ini membahas tentang acara peringatan tujuhbelasan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap menjelang tujuhbelasan selalu diadakan kerja bakti di sekitar kampung. Selain itu, di pinggir jalan gang selalu dipasang bendera atau biasa disebut 'umbul-umbul'.

"Untuk RT 20, Pak Dodi, nanti dikoordinasikan lagi ya kerja baktinya," perintah ketua RW padaku.

"Baik, Pak. Lalu, untuk umbul-umbulnya bagaimana Pak?"

"Itu ada di tempat saya Pak," kata Pak Hadi.

"Kalau begitu, nanti minggu depan saya ambil saja ya Pak."

Begitu seterusnya dan akhirnya rapat diakhiri menjelang maghrib. Aku pulang ke rumah dengan motor bebekku. Sesampai di rumah, aku disambut oleh kucing kesayangan anak-anakku. Kuabaikan kucing itu, aku langsung menuju dapur untuk mencari makanan.

Setelah sholat, aku makan makanan yang kudapati tadi saat di dapur. Belum selesai makan, aku teringat sesuatu mengenai umbul-umbul yang dibicarakan saat rapat tadi. Aku ingat bahwa separuh dari keseluruhan umbul-umbul yang dimiliki RT 20 sudah ada di belakang rumahku. Kemudian, aku bergegas mendekati telepon rumah di ruang keluarga. Aku akan menanyakan jumlah umbul-umbul yang tersisa kepada Pak Hadi.

Kutekan tombol-tombol telepon sambil memikirkan apa yang akan kuucapkan nanti setelah telepon tersambung.

"Halo?" ucap suara ibu-ibu di ujung kabel telepon sana.
"Selamat malam, Bu. Bisa bicara dengan Pak Hadi?"
"Pak Hadi??" suara ibu-ibu itu semakin lirih.
"Iya, Bu. Ini dengan Bu Hadi ya?"
"Ya. Tapi kalau ingin bicara dengan Pak Hadi, ini mustahil."
"Lho, kenapa Bu? Pak Hadi sedang pergi ya?"
"Pak Hadi sudah meninggal 5 tahun yang lalu."
"Heee????"

Lalu, yang aku temui tadi saat rapat siapa dong? Sebelum aku berpikir yang gaib-gaib, untung saja akal sehatku masih jalan.

"Bu, ini Pak Hadi Wirobrajan bukan?" tanyaku.
"Iya, ini Hadi Wirosaban."
"Wirosaban?? Berarti bukan Wirobrajan dong??"
"Iya ini Wirosaban."
"Berarti saya salah sambung ya?"
"Enggak enggak, ini benar Wirosaban, anda tidak salah sambung Pak."
"Wirosaban atau Wirobrajan sih??"
"Bapak ini budek atau budek sih. Saya tadi bilang Wirosaban ya Wirosaban."

Sepertinya ibu ini ada kesalahan di pendengarannya. Daripada aku naik pitam, mending aku sudahi aja telepon ini. "Makasih Bu, saya salah sambung."

Belum sampai satu menit aku menutup telepon, bel pintu berbunyi.

Ting tong..

"Yaa?? Siapa yaa??" tanyaku sembari membukakan pintu.
"Saya, Pak. Ternyata umbul-umbul di rumah saya tinggal separo. Lho Pak. Kok mukanya pucat gitu?"
"Haha.. Nggak apa-apa."

0 komentar:

Posting Komentar