Aku nggak punya adik kandung. Tapi aku punya kewajiban buat ngajarin anak kecil usia SD.
Sementara ini, aku adalah seorang guru privat di suatu lembaga bimbel. Yaa ini semacam freelance. Selagi aku belum mendapat pekerjaan tetap, aku memanfaatkan ini sebagai kesibukanku.
Ada beberapa kesulitan saat mengajari anak SD yang notabene itu bukan adik kandung kita.
Terutama jika dia adalah anak cewek yang susah diajari.
Saya punya 4 murid. Murid dengan usia SD ada 3, dua cowok dan satu cewek. Sisanya anak cewek tapi SMA. Anak SMA lebih mudah diajak kerjasama.
Kali ini aku ingin cerita tentang anak cewek kelas 4 SD yang jadi muridku. Sebut saja dia Ara.
Ara ini susah banget diajak belajar. Dia sukanya cuma cerita dan cerita. Padahal dulunya dia pernah juara perlombaan matematika antar SD. Tapi sekarang, semakin kesini dia semakin malas belajar. Aku curiga, mungkin ini dikarenakan gadget yang ada di genggamannya. Tapi ternyata tidak.
Dia nggak banyak pegang gadget ketika di rumah. Dia lebih suka mainan tanah di halaman. Tapi kenapa dia sulit diajak belajar ya?
Hobinya yang banyak cerita dan cerewetnya minta ampun itu bikin aku kewalahan buat meluruskannya kembali ke jalan yang benar (belajar maksudku). Dia suka banget cerita panjang lebar.
Apalagi setelah dia diajari guru pengganti sementara selama 3 minggu. Guru itu menggantikanku selama aku opname sampai pasca operasi beberapa waktu lalu. Guru itu mengubah sistem yang telah aku buat selama aku mengajari anak ini. Sistem apa?
Aku memiliki aturan khusus untuk Ara ini. Aku akan memberikan hadiah stiker penghargaan jika dia berhasil mengerjakan soal sampai nomor terakhir. Dan jika jawabannya 80% benar, aku memberinya stiker tambahan. Itu membuatnya bersemangat dalam belajar.
Tapi si guru pengganti itu telah merusak sistem dan mengubah cara pikir si anak.
Guru pengganti (sebut saja Mbak Ani) memberikan hadiah sebelum belajar dimulai, dan dia menuruti semua kemauan Ara. Ara paling sulit belajar matematika. Maka jika Ara tidak meminta belajar matematika, Mbak Ani tidak akan mengajarinya matematika. Pejalaran yang diberikan kebanyakan hanya Bahasa Inggris, yang padahal di sekolahnya tidak ada pelajaran Bahasa Inggris. Ara memang suka Bahasa Inggris. Bagus jika itu hanya untuk selingan dan tambahan pelajaran. Tidak bagus jika itu dijadikan pelajaran pokok saat les. Karena kelemahan anak ini adalah di matematika.
Perubahan drastis ku lihat setelah 3 minggu tidak bertemu. Nilainya anjlok lagi.
Awal pertemuan, kutemukan nilai matematika nya 40. Setelah ku beri treatment award kemarin, nilainya mulai meningkat menjadi 80, bahkan ada satu yang mendapat 100. Tiga minggu ku lepas, nilainya kembali ke 40.
Kesedihan apa yang kualami?
Air susu rusak karena nila setitik.
Aku hanya bisa menghela napas dan menceritakan keluhanku kepada orang
tuanya. Orang tuanya memang menyayangkan hal ini. Tapi usut punya usut,
si orang tua tidak pernah menemani Ara belajar. Seharusnya, pendampingan
utama saat anak belajar di rumah adalah orang tuanya. Guru les semacam
aku hanya memberikan pengertian kepada anak mengenai kesulitan yang
didapat di sekolah.
Ah entahlah...
#CHSGP
Catatan Hati Seorang Guru Privat: Ara
Ini tulisan
Restu Dinda Kurnia
on Rabu, Maret 25, 2015
Kategori
belajar,
Catatan Hati Seorang Guru Privat,
curhat,
pengalaman
0 komentar:
Posting Komentar